Senin, 13 Oktober 2014

Belajar Menjadi Ibu Sepanjang Hayat I

Waktu berjalan sangat cepat, baru kemarin heboh tahun ajaran baru, tau-tau sekarang putri sulung saya sudah kelas 2 SMP, di pertengahan semester pula. Saya ingat, dulu ketika putri saya kelas 6, bulan bulan oktober begini saya sudah mulai keliling mencari sekolah buat putri saya. Sampai akhirnya, dengan berbagai pertimbangan kami memutuskan untuk memilih pondok pesantren ar rahmah putri.


 


Bagi saya, ini adalah salah satu  tahapan tersulit dalam babak kehidupan saya menjadi sorang ibu. Bagaimana tidak, gadis kecil yang sejak bayi selalu saya ciumi harum keringatnya. Kini saya harus belajar  ikhlas untuk melepasnya. Melepasnya untuk belajar kehidupan, untuk belajar kemandirian. Dan belajar banyak hal baru yang tidak akan dia dapat jika dia tetap dalam dekapan ibunya. Dan sejujurnya, melepaskan anak dari buaian ibunya bukanlah perkara mudah. 



pondok pesantren ar rahmah putri 'keren' banget dalam mendidik santri-santri-nya. Bulan pertama mondok tidak ada komunikasi sama-sekali antara orang tua dan anak. Semua jalur komunikasi benar-benar diputus. Anak tidak bisa dijenguk juga tidak bisa ditelpon pada bulan pertama mondok di pondok pesantren ar rahmah putri. Menurut ustadzah disana, itu adalah salah satu cara, agar anak hanya mengantungkan harapan dan doanya hanya kepada ALLAH. Anda bisa bayangkan, bukan hanya putri saya yang tersiksa, saya pun tersiksa.  

Menginjak bulan ke 2, modok di pondok pesantren ar rahmah putri. Anak sudah bisa dijenguk 1 bulan skali. Jatah telepon 1x seminggu. 10 menit per telepon. Masa yang sangat sulit, bukan hanya bagi putri saya, bagi saya selaku ibunya juga sangat sulit. Setiap hari dada saya serasa berat, sesak menahan rindu pada buah hati. Keberadaan 2 adiknya (saat itu anak saya masih 3) dirumah tidak cukup menghibur beratnya menahan rindu karena tidak bisa berkabar dengan putri saya.

Proses awal mondok memang sangat berat secara psikologis, BERAT BUAT IBUNYA, BERAT JUGA BUAT ANAKNYA. Selama 6 bulan pertama, tiap kali kunjungan, banyak sekali dijumpai gadis gadis kecil kelas 7 menangis. ada yang cuma sesengukan, ada yang bahkan berteriak meraung-raung, merajuk untuk bisa pindah dari pondok pesantren ar rahmah putri DAU MALANG. Bagi orang tua yang tidak sanggup mendengar tangisan putrinya, akhirnya mengalah, gugur di bulan-bulan pertama dan pindah sekolah.

Putri saya? tentu saja putri saya juga menangis, seminggu sekali saya mendengar suaranya di telefon selama 10 menit, rata-rata yang saya dengar adalah tangisan. Dia merengek meminta untuk keluar dan pindah sekolah.  "bunda aku pengen pindah..." begitu selalu setiap telp dia menangis. "pokoknya pindah!" rengeknya lain waktu. Saya membujuknya dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan menjanjikan, kalo dia akan bisa pindah saat kenaikan kelas II SMP. Dan janji itu rupanya cukup ampuh, untuk membuat dia bertahan di pondok. Bulan-bulan pertama di pondok Badannya berangsur kurus. Pipinya semakin tirus.
Hatinya saya menangis, suami saya meneguhkan, inilah proses yang harus dihadapai untuk membentuk kemandiriannya. Tidak akan sama anak SMP  yang mandiri selama 3 tahun di pondok, dengan anak yang setiap hari bertemu dengan orang tuanya. Kalo dirumah bisa memilih menu makanan kesukaan, di pondok anak akan belajar lebih nriman. Apa yang ada menu hari ini, itulah yang harus dimakan. Makanan tidak habis, tidak main main, hukumannya adalah keliling lapangan 10 kali. 
Anak juga akan belajar mengatur waktunya sendiri. Tidak akan ada lagi ibu yang berteriak ini itu mengingatkan saatnya shalat, saatnya membereskan kamar dll.

Akhirnya saya menemukan cara, untuk sedikit membantu saya dan putri saya mengurangi sedikit beban rindu. Ya... di awal-awal putri saya mondok, saya rajin mengirim surat untuknya. Menulis surat membantu saya sedikit mengurangi beban rindu saya. Juga membantu putri saya untuk bisa merasakan, bahwa ibunya menemaninya melewati masa-masa sulit, karena beradaptasi dengan kawan - kawan baru dan lingkungan bukan perkara mudah. 

Masih ditambah mereka kini harus mengahadapi semuanya sendiri,tidak ada lagi ayah dan bundanya yang akan membantu mereka jka mereka menghadapi kesulitan. Mandiri, itulah kata-kata mahal yang kini mereka sedang berusaha mempelajarinya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar